Kamis, 16 Oktober 2008

THAGHUT

RINCIAN BEKERJA
DI DINAS PEMERINTAHAN THAGHUT


Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah
Sesungguhnya bekerja di dinas milik Pemerintahan Thaghut adalah ada rincian sebagaimana berikut ini:
1. Setiap pekerjaan yang merupakan pembuatan hukum, pemutusan dengan hukum buatan, pembelaan kepada thaghut atau sistemnya, mengikuti atau menyetujui sistem thaghut, ada syarat sumpah atau janji setia kepada thaghut atau sistemnya, maka semua ini adalah kekafiran.


A. Pekerjaan yang merupakan Pembuatan Hukum
Pembuatan hukum adalah hak khusus Rububiyyah Alllah Ta’ala karena Dia adalah yang menciptakan maka hanya Dia-lah dzat yang berhak menentukan hukum bagi ciptaan-Nya, Dia Ta’ala berfirman:
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah…” (Al A’raf: 54)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (Al An’am: 57)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah” (Yusuf: 67)
Allah Ta’ala tidak menyertakan satu makhluk pun di dalam hak khusus pembuatan hukum ini baik itu malaikat ataupun para nabi, karena hanya Dia-lah dzat yang menciptakan:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
Dan di alam qira-ah Ibnu Amir yang mutawatir di baca:
“Dan janganlah kamu mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalm menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ - ورَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ - وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ الا هُوَ لَه الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Tuhan mu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).Dan Tuhan mu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya lah Segala Puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya lah Segala Penentuan Hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 68-70)
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan bagi-Nya lah segala penetuan hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 88)
Serta ayat-ayat muhkamat lainnya yang menjelaskan bahwa penetuan hukum baik hukum kauniy mapun hukum syar’I adalah hak khusus Allah Ta’ala yang bila sebagiannya disandarkan atau dipalingkan kepada selain-Nya maka itu berarti penyekutuan terhadap-Nya, pengangkatan tuhan selain-Nya dan pengangkatan tandingan bagi-Nya, sedangkan itu adalah kekafiran.
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِم يَعْدِلُونَ
“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Al An’am: 1)
Bila orang yang menyandarkan hak tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah divonis MUSYRIK lagi KAFIR, maka bagaimana halnya dengan orang yang mengakui hak pembuatan hukum itu ada pada dirinya atau kelompoknya atau lembaganya, maka tidak ragu lagi bahwa orang semacam ini lebih KAFIR LAGI karena mengakui dirinya tuhan, walaupun dia tidak membuat hukum, sebagaimana yang diklaim oleh lembaga-lembaga legislative dengan semua tingkatannya dan para anggota di dalamnya yang diberi kewenangan pembuatan UUD atau UU seperti yang tertuang di dalam UUD 1945.
Allah ta’ala Berfirman:
وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
“Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan: “sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim” (Al Anbiya: 29)
Kami adalah para anggota legislatif yang berwenang membuat UU artinya kami adalah tuhan-tuhan selain Allah. Orang-orang semacam ini lebih KAFIR daripada para bani palsu seperti Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.
Para pembuat hukum dan UU itu telah divonis dengan berbagai vonis yaitu: Arbab. Wali-wali Syaitan, Sekutu-sekutu Yang Disembah, Thaghut dan Aulia (pemimpin-pemimpin) Kesesatan serta Orang-orang Bodoh.
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah: 31)
Bentuk pentuhanan diri yang dilakukan ‘alim ‘ulama dan para rahib di sini adalah pembuatan hukum yang mereka lakukan, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam hadits hasan perihal tafsir ayat ini kepada Adiy ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian (ikut) menghalakannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian (ikut) mengharankannya?” Adiy menjawab: “Ya”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka.”
Dan itu adalah yang dilakukan para legislatif dan pejabat tertentu yang diberikan kewenangan pembuatan hukum dan UU. Jadi setiap person para anggota legislatif adalah MUSYRIK KAFIR lagi dipertuhankan selain Allah ta’ala, dan MURTAD bila asalnya muslim dan bila mengatasnamakan ajaran maka dia itu orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang kafir?” (Al ‘Ankabut: 68)
Mereka juga divonis sebagai wali-wali syaithan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah kefasiqan. Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)
Ayat ini diantaranya berkaitan dengan perdebatan anatara aulia Ar Rahman dengan aulia asy syaithan (kafirin Quraisy), dimana orang-orang kafir menghalalkan bangkai dan mendebat kaum muslimin agar ikut menghalalkannya, Al Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma mereka berkat: “Apa yang disembelih Allah maka kalian tidak memakannya, sedang yang kalian sembelih maka kalian memakananya; maka Alllah menurunkan… Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu…”. Di sini hanya satu hukum saja yaitu pengahalalan bangkai, namun Allah ta’ala memvonis orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, dan pembuatnya sebagai wali (kawan) syaithan, dan hukum itu sebagai wahyu (bisikan ) syaithan.
Sedangkan yang dilakukan para anggota legislatif adalah lebih dari itu; penghalalan (pembolehan atau peniadaan sangsi) yang haram, pengaharaman (penetapan sebagai kejahatan dan tindak pidana atau penetapan sangsi) hal yang halal, dan pembuatan ketentuan-ketentuan yang menyelisihi syari’at Allah ta’ala, maka mereka itu adalah wali-wali syaithan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang dikala menghalalkan suatu yang haram yang telah di ijma’kan atau mengharamkan suatu yang halal yang sudah di ijma’kan atau mengganti aturan yang sudah di ijma’kan, maka dia itu KAFIR lagi MURTAD dengan kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)
Mereka juga adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang disembah selain Allah sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diijinkan Allah” (Asy Syura: 21)
Sedangkan diantara makna Dien adalah hukum atau UU, sebagaimana firman Nya ta’ala:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (UU) raja” (Yusuf:76)
Jadi para pembuat hukum atau UU itu adalah yang disembah selain Allah ta’ala dengan ketaatan para aparat penegak hukum kepada hukum buatan mereka itu “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik…” (Al An’am: 121) ”…mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At Taubah: 31) berikut tafsir hadits bahwa ibadah di ayat ini adalah ketaatan kepada hukum buatan mereka, sedangkan ketaatan atau kekomitmenan merujuk kepada hukum selain Allah ta’ala adalah ibadah kepada si pembuat hukum itu.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy berkata: “Bahwa setiap orang yang itiba’ (mengikuti) aturan, UU dan hukum yang menyelisihi apa yang Allah ta’ala syari’atkan lewat lisan Rasul Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu MUSYRIK kepada Allah, KAFIR lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai tuhan.” (Risalah Al Hakimiyah Fi Tafsir Adlwail Bayan), dan beliau berkata juga: “Penyekutuan di dalam hukum adalah sama seperti penyekutuan di dalam ibadah.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa barang siapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa kepada selain Allah maka dia itu MUSYRIK meskipun mengucapkan laa ilaaha illallah, dia shalat dan shaum serta mengaku muslim” (Ibthalut Tandid: 76). Dua doa disini adalah doa ibadah dan doa mas-alah (permintaan), sedangkan penyandaran ketaatan adalah termasuk doa ibadah. Itu orang yang menyandarkan, maka bagaimana halnya dengan orang yang menerima penyandaran ibadah dan mengajak manusia kepadanya seperti para anggota legislatif itu…???!!! Sungguh lebih KAFIR dari Musailamah dan Mirza Ghulam Ahmad serta para pengaku nabi lainnya. Mereka juga adalah thaghut sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk kafir kepada thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisa: 60)
Thaghut di dalam ayat ini diantaranya adalah para pembuat hukum, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata perihal tokoh para thaghut yang kedua: ”Penguasa yang aniaya dan merubah aturan-aturan Allah” (Risalah Fi Ma’na Thaghut di dalam Majmu’ah At Tauhid). Jadi semua anggota legislatif itu adalah thaghut yang diibadati, dama seperti patung-patung yang dipajang di candi Borobudur, bila patung-patung itu diibadahi dengan doa, sesajian dan ritual lainnya, maka berhala-berhala berdasi di biara parlemen dan gedung dewan itu diibadati dengan ditaati hukum hasil buatannya, “… manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yususf: 29). Mana yang lebih baik, hukum yang diturunkan Allah ta’ala yang mengetahui segalanya ataukah hukum buatan orang-orang kafir dan murtad yang memiliki aneka macam kepentingan dan selalu ditemani syaithan…???
Mereka juga divonis sebagai pemimpin-pemimpin kesesatan sebagaimana firman Nya:
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah mengikuti aulia (pemimpin-pemimpin) selain-Nya” (Al A’raf: 3)
Apa yang digulirkan oleh para anggota legislatif itu jelas bukan apa yang Allah turunkan, sehingga mereka itu adalah para pemimpin kesesatan dan kekafiran yang megajak manusia kepada hukum (dien) mereka yang zalim seluruhnya walaupun mereka menyebutnya sebagai keadilan, karena syirik adalah kezaliman yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar“ (Luqman: 13)
Mereka juga divonis sebagai orang-orang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Al Jatsiyah: 18)
Jadi para anggota legislatif itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui alias orang bodoh, karena semua orang kafir out pada hakikatnya adalah orang-orang yang bodoh,sebagaimanafirman-Nya ta’ala:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“Katakanlah:Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah hai orang-orang yang bodoh…?” (Az Zumar: 64), karena, “Mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunya mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alla). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (Al A’raf: 179)
Itulah vonis-vonis Allah ta’ala bagi para anggota legislatif (MPR, DPR, DPRD dan yang serupa itu) dan bagi para pembuat hukum/UU dan para pengklaim memiliki kewenangan itu walau tidak membuat. Maka masih adakah yang meragukan kekafiran mereka…??? atau adakah orang yang memberi udzur sebagian mereka dengan udzur takwil atau ijtihad dan yang serupa itu padahal dia tidak mengudzur yang kekafirannya di bawah kekafiran para pengaku tuhan itu…???.
Sungguh tidak ada yang meragukan kekafiran mereka kecuali orang kafir seperti mereka atau para penganut paham bid’ah yang berpijak di atas syubhat, atau katak dalam tempurung yang tidak mengetahui realita yang terjadi di sekitarnya.

B. Pekerjaan yang merupakan PEMUTUSAN DENGAN HUKUM BUATAN
Pekerjaan pemutusan dengan selain hukum Allah ta’ala yang merupakan pekerjaan para yudikatif dan eksekutif, yaitu seperti para hakim, para jaksa dan para pejabat adalah pekerjaan kekafiran dengan sendirinya. Selain mereka memutuskan dengan hukum thaghut, mereka juga sudah pasti tahakum (merujuk hukum) kepada hukum thaghut yang menjadi sandarannya, sedangkan masing-masing dari keduanya merupakan kufur akbar.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (Al Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq” (Al Maidah: 47)
Ayat-ayat ini dengan rentetan ayat sebelumnya adalah berkaitan dengan orang yang meninggalkan hukum Allah ta’ala dan malah merujuk kepada hukum tandingan yang mereka sepakati sebagai rujukan. Al Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al Bara ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata: “Dilewatkan kepada Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seorang Yahudi yang wajahnya dipoles hitam lagi di dera, maka beliau memanggil mereka dan berkaata: “Seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, mereka berkata: “ya”, maka beliau memanggil seorang dari ulama mereka, terus berkata: “Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, maka dia berkata: “tidak, demi Allah, seandainya kamu tidak mengingatkan saya dengan hal ini tentu saya tidak mengabarkan kepadamu. Kami mendapatkan had pezina di kitab kami itu rajam, namun tatkala hal itu banyak dikalangan para bangsawan kami, maka kami bila seorang bangsawan berzina kamipun membiarkannya, dan bila orang lemah berzina maka kami tegakkan had itu kepadanya. Kemudian kami berkata: “Mari kita sepakati agar kita menjadikan sesuatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap bangsawan dan orang papa”, maka kami pun sepakat terhadap tahmim (pemolesan wajah dengan warna hitam) dan dera”.
Di sini mereka tidak menghapus hukum Allah ta’ala yang ada di dalam Taurat dan mereka juga tidak menghalalkan zina, namun merek menyepakati hukum lain yang diterapkan di tengah mereka. Dan orang-orang yang memutuskan dengan hukum buatan pada zaman ini juga sama seperti mereka, sehingga vonis yang diterapkan kepada orang-orang itu juga sama dengan yang disematkan kepada mereka “…maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, dan ulama sepakat bahwa gambaran yang sama dengan sebab turun ayat adalah masuk secara qath’iy di dalam hukum yang ada di ayat itu.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum yang sudah dinaskh (dihapus), maka dia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa(Yasiq) dan lebih mendahulukannya terhadap (aturan Muhammad) itu, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Sedangkan Alyasa (Yasiq) itu adalahkitab hukum yang disusun oleh Jengish Khan yang diambil dari gabungan hukum Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan pikiran dia sendiri, sama seperti yang dibuat oleh pemerintahan thaghut negeri ini dimana merangkum dari Islam (dipakai di Pengadilan Agama yang disebut akhwal syakhshiyyah kaitan dengan nikah, cerai dan warisan), dari Yahudi dan Nasrani (seperti KUHP dan yang lainnya sisa penjajahan Belanda dan dipakai sekarang oleh penjajah lokal) dan dari buah pikiran para arbab da parlemen atau di lembaga lainnya, yang semua tidak terlepas dari batasan Yasiq terbesarnya yaitu UUD 1945 yang sering ditambal sulam.
Pemerintah, pejabat, hakim dan jaksa semuanya meninggalkan ajaran Allah ta’ala dan malah memutuskan dan merujuk kepada Yasiq modern, maka mereka kafir dengan ijma kaum muslimin, bahkan mereka itu salah satu tokoh thaghut, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa diantara tokoh para thaghut yang ketiga: Yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Risalah Fi Ma’na Thaghut, Majmu’ah At Tauhid). Vonis ini walaupun dalam satu hukum saja, seperti dalam sebab nuzul ayat itu.

C. Pekerjaan yang SIFATNYA PEMBELAAN KEPADA THAGHUT ATAU SISTEMNYA
Dan ini biasa para pelakunya dinamakan Anshar Thgahut seperti Tentara, Polisi, Intelejen dan yang lainnya yang bertugas mengokohkan thaghut atau sisitemnya atau kedua-duanya baik dengan lisan maupun dengan fisik dan senjata. Thaghut atau sistemnya tidak akan kokoh dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa anshar yang membelanya, melindunginya dan selalu siap siaga berperang di jalannya, oleh sebab itu Allah menamakan anshar thaghut (bala tentaranya) bagai pasak, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Dan Fir’aun yang memiliki pasak-pasak (tentara yang banyak) yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka membuat banyak kerusakan dalam negeri itu” (Al Fajr: 10-12) oleh sebab itu sanksi dunia dan akhirat pun sama-sama didapatkan oleh thaghut dan pembantunya berikut ansharnya sebagaiman firman-Nya ta’ala:
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ
“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut”. (Adz Dzariyat: 40), dan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (Al- Qashash: 8), dan firman-Nya ta’ala: “Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (Al- Qashash: 40-41).
Anshar Thaghut itu ada dua:
· Orang atau dinas yang membela thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu.
· Orang atau dinas yang membela thaghut atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para cendikiawan dan juga para ulama atau du’at suu’ yang menetapkan keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau khawarij. Dan sikap para ulama dan du’at suu’ ini lebih berbahaya daripada sikap tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas Nama Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat, sedangkan tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun). Adapun dalil-dalil perihal kekafiran anshar thaghut ini maka dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijma. Allah ta’ala berfirman: “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu. (An Nisa: 76). Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir. ”Katakanlah: barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan seijin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnyaAllah adalah musuh orang-orang kafir. (AL Baqarah: 97-98). Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai, meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kabarkanlah kepada kami siapa kawanmu? beliau menjawab: Jibril. “Mereka berkata: Jibril itu yang turun dengan (membawa) pertempuran, peperangan dan azab, musuh kami? andaikata kamu mengatakan Mikail yang turun dengan rahmat, tanaman dan hujan tentu ia lebih baik”, maka turun ayat di atas.
Orang yang memusuhi Jibril yang merupakan salah satu utusan Allah ta’ala dari kalangan malaikat, maka dia adalah musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya dan semua rasul-Nya, dan dia itu divonis kafir oleh Allah ta’ala. Dan begitu juga orang yang memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu adalah musuh bagi Allah, semua malaikat dan semua rasul, dan dia itu adalah orang kafir. Sedangkan bentuk permusuhan terhadap Allah ta’ala dan Rasul-Nya macam apa yang lebih dasyat dari sikap thaghut dan ansharnya yang mencampakkan hukum Allah ta’ala, menjunjung tinggi hukum syaitan, meninggikan orang-orang kafir dan orang-orang murtad serta orang-orang bejat dan mereka malah mempersulit orang-orang yang bertauhid, memenjarakan dan membunuhi mereka, melapangkan jalan bagi setiap perusak ajaran Allah ta’ala dan membatasi gerakan para penyeru tauhid, mematikan tauhid dan menghidupkan syirik dan kerusakan. Dan anshar thaghut adalah dipersiapkan untuk menjaga keamanan sistem kafir dan mempertahankan Negara kafir dari setiap upaya yang ingin merubahnya dengan sistem yang diturunkan Allah ta’ala, oleh sebab itu mereka adalah kafir baik berperang melawan kaum muwahhidin ataupun tidak, karena sikap mereka tawalliy (loyalitas yang megeluarkan dari Islam) kepada syirik, dan bila memerangi muwahhidin maka mereka menggabungkan antara tawalliy kepada syirik dengan tawalliy kepada orang-orang musyrik.
أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Allah ta’ala mempertalikan ukhwah kufuriyyah (persaudaraan kekafiran) antara orang orang munafik yang dhahirnya Islam dengan orang orang Yahudi, yaitu Allah ta’ala menvonis mereka kafir, dengan sebab janji mereka untuk membantu orang orang Yahudi itu bila diserang kaum muslimin, padahal janji mereka itu dusta, maka bagimana halnya dengan orang orang yang secara rutin berikrar janji dan sumpah untuk membela thaghut dan sistemnya bila ada rongrongan musuh (yang diantarannya mujahidin muwahhidin), dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil dan mereka sebelumnya bersaing untuk masuk dalam barisan itu? bukankah itu realita tentara dan polisi serta yang serupa itu di negeri ini? janganlah ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Andai tidak ada janji dan sumpah itu, tetap saja mereka itu kafir karena dzat dinas dan tugas mereka sejak awal adalah membela thaghut dan sistemnya, sedangkan sumpah dan janji itu adalah penambahan bagi kekafiran mereka. Mereka itu kafir saat perang, atau shalat atau haji atau tidur selama belum berlepas diri dari kekafiran mereka itu.
Bagaimana tentara, polisi juga intelejen serta anshar qanun (undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila, UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua rukun laa ilaaha illallaah. Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinyaberupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (mengucapkan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma”. (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan ucapan kekafiran maka dia kafir, walupun dusta, maka apa gerangan bila dia serius?.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih Al Bukhari memperlakukan Al ‘Abbas yang berada di barisan anshar thaghut Quraisy sebagaimana perlakukan terhadap orang kafir, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawannya dan menyuruhnya untuk menebus dirinya, padahal dia itu mengaku muslim dan mengaku dipaksa ikut perang badar, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepada pengakuan dan klaimnya itu dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Zhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu”.
Di sini jelas takfir mu’ayyan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada individu anshat thaghut walaupun dia mengaku dipaksa, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi dia kafir secara dhahir, dan batinnya diserahkan kepada Allah ta’ala dengan sebab pengakuan dipaksanya itu.
Maka bagaimana gerangan dengan tentara, polisi, intelejen dan anshar thaghut hukum lainnya (sipir penjara) yang tidak dipaksa dan mereka bersaing saat mendaftar, bangga dengan korpsnya dan seragamnya, merasa pada posisi kuat dengan menjadi penyembah thaghut itu.
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِّيَكُونُوا لَهُمْ عِزًّا
“Dan mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuahn itu menjadi pengokoh (pelindung) bagi mereka”. (Maryam 81).
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Dan mereka lakukan itu demi menggapai dunia (gaji dan tunjangan) yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)
Dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil serta kekafiran-kekafiran lainnya?. Maka jangan ragu-ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin…!!! Ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih wara’ dan lebih hati-hati daripada kamu…!!!, tapi beliau mengkafirkan secara mu’ayan (personal) orang yang bergabung di barisan anshar thaghut Quraisy padahal mengaku muslim dan mengaku dipaksa, namun kamu bersikap wara’ dari mengkafirkan ta’yin (personal) tentara dan polisi thaghut itu, maka wara’ macam apa itu…???!!!
Para shabat pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhum ijma (sepakat) terhadap kekafiran anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan nabi palsu lainnya secara ta’yin, dimana saat utusan Buzakha’ meminta damai dan taubat datang kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, maka beliau mengutarakan beberapa syarat yang disepakati para sahabat diantaranya bahwa mantan orang-orang murtad itu harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati terbunuh dari mereka adalah masuk neraka.Sedangkan orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang yang mu’ayanin (tertentu) dan sedangkan yang boleh dipastikan masuk neraka dalam aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah hanyalah orang-orang yang mati dalam kondisi kafir, dan orang muslim walaupun ahli maksiat tidak boleh dipastikan masuk neraka. Ini artinya para sahabat ijma atas kekafiran anshar thaghut secara ta’yin (personal). (Ijma ini bisa dilihat di dalam Risalah Mufidul Mustafid dan Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Al Jami’ bahasan Anshar Thaghut milik Syaik Abdul Qadir ibnu Abdil Aziz).
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata perihal orang-orang yang dikafirkan dengan sebab syirik akbar: “…dan begitu juga (kami kafirkan) orang yang berdiri dengan pedangnya melindungi kuburan-kuburan yang dikeramatkan ini semuanya dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berupaya untuk melenyapkannya”. Sedangkan tentara, polisi dan satgas syirik lainnya adalah penjaga dan pengawal Pancasila syirik, demokrasi kafir dan UU thaghut, dimana lisan mereka selalu bergema melantunkan dengan lantang Garuda Pancasila, Akulah Pendukungmu, Patriot Proklamasi, Rela Berkorban Untukmu.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tentang anshar Musailamah Al Kadzdzab yang tertipu oleh para saksi palsu dan para du’at penipu yang mengabsahkan klaim Musailamah: “…namun begitu para ulama ijama bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal itu, dan barang siapa ragu perihal kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, Majmuah At Tauhid), bahkan diantara yang menjadi saksi keabsahan Musailamah adalah Ibnu Unfuah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Banu Hanifah (kaum Musailamah) yang malah membelot kepada Musailamah dan menyesatkan mereka, begitu juga banyak orang yang tertipu menjadi anshar thaghut (tentara, polisi, intelejen, kepala lapas dan anak buahnya dan lain-lain) oleh ulama suu’dan du’at penyeru di atas pintu-pintu jahanam yang mengabsahkan pemerintahan kafir murtad ini, sistemnya, falsafahnya dan hukumnya (pemerintahan RI), diantara mereka ada yang duduk menjadi thaghut di parlemen, ada yang menjadi menteri gama Pancasila, ada yang menjadi du’at departemen agama thaghut, ada sebagai Bintal (pembintaan mental) di militar dan posisi-posisi lainnya yang menipu umat.
Di dalam kaidah fiqiyyah ditegaskan bahwa status personel thaifah mumtani’ah (kelompok yang mengokohkan diri atau melindungi diri dengan kekuatan yang dimilikinya) adalah tergantung pemimpinnya. Bila thaifah itu adalah bughat (pemberontak muslim) maka personelnya adalah baghiy (pemberontak muslim), bila Khawarij maka personelnya Khariji, bila thaifah itu adalah pemerintah murtad maka personel ansharnya adalah orang kafir murtad (bila mengaku muslim).

D. PEKERJAAN YANG BERSIFAT MENYETUJUI DAN MENGIKUTI SISTEM THAGHUT
Seperti pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas kejaksaan, kehakiman, KPU, Sekretariat MPR/DPR/DPRD dan yang serupa dengan itu yang intinya menyetujui dan mengikuti sistem atau hukum kafir. Umpamanya seorang petugas kejaksaan (bukan Jaksa) saat memborgol dan mengkrangkeng atau menjemput tahanan adalah dalam rangka mengikuti hukum thaghut, seorang petugas Sijn (penjara/LP) menjaga narapidana agar tidak kabur dalam rangka mengikuti hukum thaghut dan seterusnya.
Pekerjaan-pekerjaan ini sama dengan pekerjaan-pekerjaan sebelunya adalah kekafiran, baik ada sumpah maupun tidak ada karena menyetujui atau mengikuti hukum kafir tanpa ikrah (dipaksa) adalah tawaliy/muwallah kubra (loyalitas yang megeluarkan dari Islam)
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ
} ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ
فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)
Di dalam ayat-ayat ini Allah ta’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir bahwa dia akan mematuhi atau mengikuti mereka dalam satu urusan kekafiran, maka bagaimana halnya dengan orang yang benar-benar mematuhi atau mengikuti dalam urusan kekafiran itu?, dan bagaimana halnya dengan orang yang tugasnya adalah menjalankan aturan kafir dan bila dia diprotes maka dia menjawab “ saya hanya menjalankan tugas atau perintah” atau “ saya hanya menjalankan atau mengikuti hukum yang berlaku”. Jelas mereka mengikuti apa yang menimbulkan murka Allah ta’ala dan dengan tindakannya itu mereka membenci apa yang mendatangkan ridla-Nya ta’ala.
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepadamu
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ
“Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu sesungguhnya kalau begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al Baqarah: 145)
Ayat itu menjelaskan bahwa seandainya orang muslim mengikuti ajaran kafir tanpa dipaksa maka dia itu kafir walaupun di hati tidak menyukainya atau dia membencinya atau hatinya masih beriman, karena keyakinan hati ini tidak dianggap saat lisan mengucapkan kekafiran atau anggota badan mengerjakan kekafiran kecuali saat kondisi ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa padahal hatinya tetap tenang dengan keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka Allah menimpa mereka azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kaum yang kafir”. (An Nahl: 106-107)
Ayat ini menunjukan bahwa kekafiran itu tidak dimaafkan kecuali dengan sebab ikrah saja, dan ayat ini menunjukan juga bahwa orang yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran tanpa ikrah adalah telah melapangkan dadanya untuk kekafiran walaupun dia mengklaim sebaliknya atau mengklaim mencintai Islam tetap saja dia divonis kafir dan Allahta’ala nyatakan bahwa kekafiran itu terjadi bukan karena ingin kafir atau benci kepada Islam, namun “…karena mereka sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat”, yaitu gaji, tunjangan, fasilitas kehidupan dan jaminan pensiun di masa tua.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan secara umum barangsiapa mengucapkan atau mengerjakan sesuatu yang merupakan kekafiran maka dia kafir dengan sebab itu meskipun dia tidak bermaksud untuk kafir, karena tidak bermaksud untuk kafir seoranpun kecuali apa yang Allah kehendaki”. (Ash Sharimul Maslul).
Syaikh Sulaiman ibnu Abdilllah Alu Asy Syaikh berkata “Ulama ijma bahwa siapa yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran maka dia kafir, baik dia itu serius atau bercanda atau main-main, kecuali orang yang dipaksa”. (Ad Dalail: 1). Bahkan Allah ta’ala berfirman perihal orang-orang yang mengucapkan kekafiran terus beralasan bahwa mereka hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja “…tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir setelah beriman” (At Taubah: 66)

E. PEKERJAAN YANG DISYARATKAN TERLEBIH DAHULU UNTUK BERSUMPAH/JANJI SETIA KEPADA THAGHUT/SISTEM DAN HUKUMNYA
Setiap pekerjaan di dalam dinas pemerintahan thaghut ini walaupun asal pekerjaannya mubah atau haram yang tidak sampai kepada kekafiran, namun sebelum diangkat menjadi pegawai/pekerja disyaratkan mengikrarkan sumpah/janji setia kepada thaghut, maka ini adalah kekafiran karena sebab sumpah/janjinya itu bukan karena dzat pekerjaannya. Umpanya menjadi mantri atau dokter di puskesmas atau rumah sakit adalah mubah, namun bila dia sumpah setia kepada thaghut sebelumnya maka dia kafir karena sumpahnya. Menjadi PNS di Bea Cukai atau Perpajakan atau Imigrasi adalah pekerjaan haram karena semuanya kezaliman namun tidak sampai kepada kekafiran akan tetapi bila sebelumnya ada sumpah atau janji setia kepada thaghut maka menjadi kafir dengan sebab sumpahnya itu.
”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)
Di sisi Allah taa’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepad orang-orang kafir untuk mematuhi sebagian urusan kekafiran mereka, maka apa gerangan dengan orang yang berjanji untuk setia kepada falsafah kafir, hukum kafir dan negara kafir dan untuk mematuhi segala aturan thaghut…??? dan apa gerangan dengan orang yang mengatakan janjinya dan sumpahnya itu dengan nama Allah…??? sedangkan sesuai dengan aturan main/UU thaghut bahwa orang yang resmi menjadi PNS harus mengikrarkan sumpah PNS seraya disaksikan seorang rohaniawan dan pejabat dilingkungan dinasnya, dan isi sumpahnya adalah sumpah dengan nama Allah untuk setia kepada Pancasila, UUD 45 dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk menjaga rahasia negara dan mendahulukan kepentingan negara terhadap kepentingan golongan (yaitu agama Islam diantaranya).
Lihat lengkapnya di materi yang saya susun di “Kumpulan Risalah dan Terjemah SIJN”, di sana saya cantumkan teks sumpah berikut pasal dan ayat UU nya. Hakikat sumpah itu adalah: “DEMI ALLAH SAYA AKAN KAFIR KEPADA ALLAH DAN BERIMAN KEPADA THAGHUT…!!!” padahal Allah ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“… beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu…” (An Nahl: 36) “…
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ
barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus” (Al BAqarah: 256).
Bilaorang itu mengklaim bahwa dia ucapkan itu seraya berdusta dan dihatinya tidak ada niat untuk setia dan patuh, maka kami katakan bahwa kamutetap kafir…!!! walau hanya bohongan saat mengikrarkan sumpah itu, karena Allah telah mencap kafir orang yang berjanji bohong untuk melakukan kekafiran (yaitu membantu orang-orang Yahudi dalam melaawan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Alasan yang diterima Islam hanya ikrah (paksaan), sedangkan kalian tidak dipaksa dan justru bersaing untuk menjadi pegawai dan bahkan dengan menyogok agar lulus, tapi “… yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah ta’alatidak member petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)
Ini adalah bentuk-bentuk pekerjaan yang kufur akbar di dinas pemerintahan thaghut ini, dan untuk poin A, B, C dan D pekerjaan-pekerjaan di sana adalah kekafiran akbar dengan sendirinya yaitu dzat pekerjaannya adalah kufur akbar dan syirik akbar sehingga individu orangnya bisa kita kafirkan karena terbukti kekafirannya di hadapan kita. Adapun yang poin E yaitu yang dikafirkan dengan sebab sumpah/janji setia bukan karena dzat dinas atau pekerjaannya maka kita tidak bisa mengkafirkan individu orangnya kecuali kalau kita mengetahui LANSUNG bahwa dia bersumpah, atau orang itu MENGAKUI bahwa dia bersumpah, atau ada dua saksi laki-laki adil yang bersaksi dihadapan kita bahwa keduanya melihat atau mendengar dia bersumpah atau ada khabar yang istifadlah (masyhur diketahui khalayak umum) bahwa dia bersumpah.
Kalau ada salah satu dari hal-hal itu maka boleh mengkafirkan individu (ta’yin) orang itu, namun bila tidak ada maka tidak boleh mengkafirkannya walaupun sebenarnya dia itu bersumpah (kafir), di mana dihadapan Allah a’ala dia itu kafir sedangkan dihadapan kita dia itu dihukumi muslim karena menampakkan keislaman. Dan bisa saja si A mengetahui dia itu kafir karena melihatnya bersumpah sehingga memperlakukannya sebagaimana orang kafir, namun si B tidak mengetahuinya sehingga menganggapnya muslim, dan itu tidak ada masalah dan si A tidak boleh memaksa si B untuk mengikuti vonis dia, tapi si B boleh mengikuti si A bila dia adil sebagaimana Umar radliyallahu ‘anhu mengikuti Hudzaifah radliyallahu ‘anhu dalam sikap tidak menshalatkan jenazah orang munafik yang hanya diketahui Hudzaifah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Pekerjaan yang haram yang tidak sampai kepada kekafiran.
Yaitu setiap pekerjaan yang tidak mengandung salah satu usur kekafiran di atas akan tetapi bergerak di dalam bidang yang haram, seperti riba, kezaliman, membantu dalam kezaliman, memakan harta manusia dengan batil, atau muwallah shugra (segala yang menghantarkan kepada penghormatan dan kemuliaan orang kafir dengan tetap membenci, memusuhi, dan mengkafirkannya), atau hal haram lainnya.

3. Pekerjaan yang makruh
Yaitu yang tidak ada unsur kekafiran dan keharaman, dengan syarat darurat atau sangat membutuhkan dan tetap menampakkan keyakinan (dien). Dikatakan makruh karena yang dituntut dari orang muslim adalah menjauhi orang kafir. Dan adapun syarat menampakan dien maka dia diambil dari kontek hadits atau atsar yang menunjukkan bahwa sebagian sahabt bekerja pada orang-orang musyrik seraya tetap menampakkan dien yang dianut, di mana Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Khabab ibnu Al Art radliayallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Al ‘Ash ibnu Wail As Sahmi untuk menagih hak saya yang ada padanya, maka dia berkata: “Saya tiak akan memberikannya kepadamu sampaikamu kafir kepada Muhammad.”, maka saya berkata: “Tidak, sampai kamu mati terus dibangkitkan pun.”
Bila tidak menampakkan diennya saat dia bekerja di dinas milik thaghut maka dia berdosa karena meninggalkan kewajiban demi dunia.
Dan untuk rincian yang haram dan yang makruh dari pekerjan-pekerjaan di dinas milik thaghut ini silakan rujuk terjemahan Al Mashabih Al Munirah yang ada dalam “Kumpulan Risalah dan Terjemah SIJN”
Orang yang kekafirannya hanya karena sebab sumpah setia kepada thaghut namun dzat pekerjaannya bukan kekafiran seperti bentuk pekerjaan model E, maka dia menjadi muslim dengan berlepas diri dari sumpahnya itu dan ikrar dua kalimah syahadat lagi, walaupun dia tidak keluar dari pekerjaannya, namun yang utama adalah dia keluar dari pekerjaannya itu. Sedangkan orang yang dzat pekerjaannya adalah kekafiran seperti bentuk-bentuk pekerjaan model A, B, C, D, maka dia tidak menjadi muslim kecuali dengan keluar dari pekerjaannya dan ikrar dua kalimah syahadat lagi.
Wallahu Ta’ala A’lam.

Bandung, 12 Oktober 2008
Al Faqier illa rahmti robbi
Akhuukum
Abu Sulaiman Aman Abdurahman



Rabu, 15 Oktober 2008

I’DAD WAL JIHAD

Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz
PENGERTIAN DAN STATUS KEDUANYA DALAM SYARAT JIHAD

Sebuah Bantahan Terhadap Syubhat Yang Mengatakan Bahwa;
Tidak Ada Jihad Kecuali Setelah Sempurnanya Tarbiyah Imaniyah
Penerjemah:
Abu Musa Ath Thoyyaar
Lampiran Keempat :

Pengertian dan status keduanya dalam syarat Jihad
(Sebuah bantahan terhadap syubhat; tidak ada jihad kecuali setelah sempurnanya tarbiyah imaniyah).

Disini kita akan membahas permasalahan-permasalahan berikut;
Pertama; apakah yang dimaksud I’dad lil jihad (Persiapan Jihad)?
Kedua; apakah Al ‘Adaalah merupakan syarat wajibnya jihad?

Pertama; Apakah yang dimaksud dengan I’dad lil Jihad?
Yang dimaksud dengan I’dad ada dua; yaitu I’dad Maddi (persiapan materi) dan I’dad imani (persiapan iman), dan tidak boleh membatasi I’dad dengan salah satunya. Adapun yang dimaksud dengan I’dad maddi adalah yang disebutkan dalam surat Al Anfaal, Alloh berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَ عَدُوَّكُمْ وَأَخَرِيْنَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمْ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Alloh mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al Anfaal : 60)
Dan penafsiran ayat ini telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ sehingga tidak menyisakan tempat untuk mentakwilkannya atau membawa pengertian ayat tersebut kepada pengertian yang tidak dimaksudkan oleh ayat tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata bahwasannya Rosululloh SAW , membaca ayat ini kemudian bersabda:
ألا إن القوة الرمي
“Ingatlah bahwasannya kekuatan itu adalah melempar (memanah)”. Beliau mengucapkannya tiga kali.
Oleh karena itu tidak boleh membawa pengertian ayat ini kepada pengertian I’dad imani dan tarbiyah. Dan I’dad maddi mencakup mempersiapkan orang, senjata dan harta. Dan ayat tersebut diatas menyebutkan dengan jelas persenjataan dan harta, dan menyebutkan orang secara isyarat. Namun mempersiapkan orang ini terdapat dalam ayat-ayat lain. Seperti firman Alloh :
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ
“Hai Nabi, hasunglah orang-orang mu’min untuk berperang” (QS. Al Anfaal : 65)
Dan juga firman Alloh :
فَقَاتِلْ فِي سَبِيْلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا
“Maka berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan hasunglah orang-orang mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Alloh menolak serangan orang-orang yang kafir itu”. (QS. An Nisaa’ : 84)
Dan juga firman Alloh :
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا كُونُوا أَنْصَارُ اللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kalian sebagai pembela-pembela Alloh”. (QS. Ash Shaff : 14)
Dan permasalahan ini telah dibahas secara terperinci dalam bab dua, dan Ibnu Taimiyyah berkata bahwasannya jika kewajiban jihad itu gugur karena ketidak mampuan maka wajib mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan. (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 259) Dan Alloh menjadikan I’dad ini sebagai pertanda benarnya keimanan dan sebagai pembeda antara orang beriman dengan orang munafiq, dalam firmanNya :
وَلَوْ أَرَدُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللهُ انْبِعَثَاهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِيْنَ لَوْ خَرَجُوا فِيْكُمْ مَازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاَ وَلَأَوْضَعُوا خِلاَ لَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka :”Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu”. Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas-gegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka”. (QS. At Taubah : 46-47)
Dalam ayat ini Alloh menjelaskan bahwa orang munafiq yang meninggalkan I’dad itu sebelumnya secara taqdir Alloh telah mentelantarkannya. Dan sesungguhnya hal ini adalah merupakan rahmat dari Alloh kepada orang-orang yang benar-benar beriman, seandainya mereka ikut keluar bersama mereka, pasti orang-orang munafiq itu hanya membuat kerusakan dan fitnah. Apalagi ada sebagian orang-orang beriman yang berbaik sangka kepada orang-orang munafiq itu.
وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Dan diantara kalian ada yang mendengar-dengarkan mereka”
Dan disinilah timbul kerusakan yang besar. Inilah yang berkaitan dengan I’dad secara materi.
Adapun I’dad imani (tarbiyah) bukan bagian dari I’dad maddi (materi). Dan dalil-dalilnya telah disebutkan dalam pasal ini juga sehingga tidak perlu untuk diulang lagi. Dan I’dad Imani ini banyak sekali cabangnya, sebanyak cabang iman, baik lahir maupun batin, baik secara ilmu maupun secara amal, I’dad Imani juga mempunyai peran secara langsung dalam menyebabkan kemenangan atau kekalahan, sebagaimana telah saya sebutkan dalam lima prinsip dasar penyebab kemenangan dan kekalahan. Namun ada beberapa hal yang perlu dijaga dalam hal-hal yang berkaitan dengan I’dad, yaitu :
- Jangan sampai ayat I’dad dalam surat Al Anfaal ini dibawa kedalam pengertian tarbiyah, karena telah ada hadits marfu’ yang menafsirkan ayat tersebut sehingga membantah pentakwilan tersebut. Adapun tentang tarbiyah ada dalil-dalil lainnya yang telah dijelaskan didepan. Dan yang lebih parah lagi adalah orang yang membatasi I’dad hanya dengan I’dad imani saja tanpa I’dad maaddiy (materi). Orang semacam itu adalah orang yang mendustakan ayat-ayat Alloh.
- Tarbiyah ini jangan menjadi alasan untuk tidak berjihad, khususnya jihad yang fardlu ‘ain. Inilah yang sangat penting untuk dijaga dalam kaitannya dengan tarbiyah. Dan inilah yang mendorong kami untuk membahas sisi kedua dalam catatan ini.

Kedua : Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajibnya Jihad?
Maka kepada orang-orang yang mengatakan kami tidak berjihad sampai kami menyelesaikan tarbiyyah iimaaniyyah, kami bertanya dengan dua pertanyaan ;
Pertanyaan pertama : Apakah target dari tarbiyyah itu menghantarkan seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah Asy Syar’iyyah, atau kepada tingkatan yang lebih tinggi dari pada itu?
Pertanyaan kedua : Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajib jihad? Yang berarti seorang muslim tidak boleh berjihad sampai dia mencapai derajat Al ‘Adaalah? Dan apakah kewajiban jihad itu akan gugur dari orang fasiq?
Pertama kami akan menyebutkan definisi Al ‘Adaalah, kami katakan: Al ‘Adaalah adalah kemapanan seseorang pada diinnya, dan ada yang mengatakan; bahwa Al ‘Adaalah adalah orang yang tidak nampak padanya hal-hal yang meragukan. Dan dalam hal ini yang menjadi indikasi ada dua :
1. Baik dalam mengamalkan Islam, yaitu melaksanakan sholat-sholat wajib dengan sunnah rowatibnya, menjauhi perbuatan haram dengan cara tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tidak terus terusan berbuat dosa kecil.
2. Menjaga kesopanan dengan melakukan perbuatan yang memperindah dirinya dan meninggalkan perbuatan yang menghinakan dan memperburuk dirinya. (manarus Sabiil Syarhud Dalil, cet. Al Maktab Al Islami, 1404 H, II/387-388).
Kemudian kami akan menyebutkan syarat-syarat wajibnya jihad --- dan telah berlalu pembahasan ini dalam lampiran sebelumnya --- yaitu (Islam, baligh, berakal, laki-laki, tidak cacat, merdeka, punya biaya, ijin orang tua dan ijin orang yang menghutangi), (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X/366,381-384). Dan ini adalah ketika jihad fardhu kifayah, adapun jika jihad itu fadlu ‘ain, maka syaratnya adalah satu sampai lima saja. Dan sebagaimana anda lihat bahwa Al ‘Adaalah tidak termasuk syarat jihad.
Kalau Al ‘Adaalah itu jelas bukan merupakan syarat wajibnya jihad, maka gugurlah pendapat orang yang mengatakan harus diadakan tarbiyyah yang menghantarkan seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah sebelum dia berjihad. Dan selanjutnya gugurlah pendapat orang yang mensyaratkan harus mencapai tingkatan lebih tinggi dari pada Al ‘Adaalah. Bahkan para ‘ulama menyatakan yang sebaliknya, artinya boleh meminta bantuan orang fasik dan munafik dalam berperang. Asy Syaukaaniy berkata:”Dalam kitab Al Bahr dikatakan: Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafiq berdasarkan ijma’ karena Nabi meminta bantuan kepada Abdullah bin Ubay dan teman-temannya. Dan juga diperbolehkan meminta bantuan kepada orang fasiq untuk melawan orang kafir berdasarkan ijma’, dan menurut kami juga untuk melawan bughot (pemberontak) karena ‘Aliy ra, meminta bantuan kepada Asy’ats” (Nailul Authoor VIII/44).
Dan dalam kitab Al Majmuu’ disebutkan :”Abu Bakar Al Jashosh berkata dalam Ahkamul Qur’an; jihad itu wajib dilaksanakan meskipun bersama dengan orang-orang fasiq, sebagaimana wajibnya berjihad bersama orang-orang yang sudah sampai tingkatan Al ‘Adaalah. Dan seluruh ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan antara dikerjakan bersama orang-orang fasiq dan antara dikerjakan bersama orang-orang shalih. dan juga karena sesungguhnya orang-orang fasiq itu jika mereka berjihad berarti dia dalam hal ini melaksanakan ketaatan (kepada Alloh)”. (Al Majmuu’ Syarhul Muhadz-dzab, XIX/279).
Dan Ibnu Hazm berkata --- setelah menyebutkan hadits yang berbunyi :
إِنَّ اللهَ يَنْصُرُ هَذَا الدِّيْنَ بِقَوْمٍ لاَ خَلاَقَ لَهُمْ
“Sesungguhnya Alloh benar-benar memperkuat agama ini dengan orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa”
Dan Hadits yang berbunyi :
إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ اْلفَاجِرِ
“Sesungguhnya Alloh memperkuat agama ini dengan orang yang fajir”
Beliau berkata: ”Hadits ini memperbolehkan meminta bantuan kepada ahlul harbi (musuh) untuk menghadapi orang yang semacam dengan mereka, dan juga kepada orang Islam yang fajir (banyak berbuat dosa) yang tidak mempunyai pahala sedikitpun untuk menghadapi ahlul baghyi (pemberontak), selain itu karena orang-orang fasiq itu juga terkena kewajiban jihad dan kewajiban melawan ahlul baghyi (pemberontak), sebagaimana kewajiban orang yang baik. Oleh karena itu tidak boleh melarang mereka untuk melaksanakan kewajiban itu. Bahkan seharusnya mereka diajak untuk melaksanakan kewajiban tersebut”. (Al Muhallaaa XI/113-114).
Dan permasalahan ini secara terperinci telah dibahas (pada bab tiga), pada pembahasan berperang bersama pemimpin yang fajir. Jika berperang bersama orang yang fajir yang menjadi pemimpin saja diperbolehkan apalagi berperang bersama orang fajir yang menjadi pasukan.
Dan Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan dengan secara panjang lebar tentang masalah ini, yang telah saya nukil dalam (bab ketiga), yaitu beliau berkata;”Jika mereka bersepakat untuk memerangi orang-orang kafir dengan cara yang sempurna, maka inilah pelaksanaan yang maksimal dalam rangka mencari ridlo Alloh, memuliakan kalimatNya, dan mentaati RosulNya. Meskipun diantara mereka ada yang banyak dosanya dan ada yang rusak niatnya, ia berperang ingin mendapatkan kepemimpinan atau ingin mendapat beberapa kepercayaan, Namun meninggalkan perang melawan orang-orang kafir itu kerusakannya terhadap agama lebih besar dari pada berperang melawan mereka tapi bersama orang-orang fasiq. Dan kita wajib memerangi mereka dengan tujuan untuk menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Dan ini merupakan pokok ajaran Islam yang harus senantiasa dijaga.
Oleh karena itu termasuk dari pokok-pokok aqidah ahlus sunnah adalah berperang baik bersama orang yang baik maupun bersama orang yang fajir. Karena sesungguhnya Alloh akan menolong agama ini dengan orang yang fajir, dan dengan orang yang tidak mempunyai bagian (pahala). Sebagaimana hal itu telah diberitakan oleh Nabi SAW, karena jika perang itu tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama para pemimpin yang fajir atau bersama pasukan yang banyak dosanya, pasti akan ada dua kemungkinan,
Pertama, tidak berjihad bersama pemimpin yang fajir sehingga musuh akan menguasai sedangkan kerusakan yang mereka timbulkan terhadap agama dan dunia itu lebih berbahaya.
Atau, yang kedua, tetap berperang, namun bersama pemimpin yang fajir, sehingga dengan itu tertolaklah dosa yang paling besar (antara kekafiran dan kemaksiatan-pent) dan dapat menegakkan banyak dari syari’at Islam, meskipun tidak bisa melaksanakan seluruhnya. Dan begitulah seharusnya yang ditempuh (berperang bersama pemimpin yang fajir) ketika dalam keadaan seperti ini (ketika jihad tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir), dan juga pada kedaan-keadaan yang semacam dengan ini. Bahkan kebanyakan peperangan yang terjadi setelah khulafa’ rosyidin beginilah prakteknya --- sampai beliau mengatakan --- maka barangsiapa memahami apa yang diperintahkan Nabi SAW, kepadanya yaitu jihad yang dilaksanakan oleh para pemimpin sampai hari qiyamat, dan yang beliau larang yaitu membantu orang dzalim untuk berbuat dzalim, niscaya dia memahami bahwa jalan yang paling utama yang merupakan ajaran Islam adalah berjihad melawan orang yang berhak untuk diperangi, seperti orang-orang kafir itu, bersama pemimpin dan kelompok yang lebih dekat kepada Islam dari pada orang-orang kafir itu, jika jihad itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan cara seperti ini. Dan menjauhi perbuatan yang membantu kemaksiatan kelompok fajir yang dia berjihad dengan mereka itu, bahkan mentaati mereka dalam hal-hal yang merupakan ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka untuk bermaksiat kepada Alloh, karena tidak boleh taat kepada makhluq untuk bermaksiat kepada kholiq.
Inilah jalan orang-orang yang terbaik dari ummat ini, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf. Dan ini adalah jalan pertengahan antara jalannya haruriyyah (Khowaarij) dan orang-orang yang semacam mereka, yaitu orang yang menempuh jalan waro’ (kehati-hatian)yang rusak, yang timbul dari sedikitnya ilmu, dan antara jalannya Murji-ah dan orang-orang yang semacam mereka, yaitu orang-orang yang menempuh jalan ketaatan kepada pemimpin secara mutlaq, meskipun mereka itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Majmuu’ Fataawaa XVIII / 505-508).
Saya katakan: masalah ini telah menjadi ketetapan sehingga permasalahan ini ditulis dalam masalah-masalah aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, sebagaimana yang telah saya nukil dari syarhul ‘Aqidah ath Thohawiyyah, yang disana disebutkan: ”Haji dan jihad itu senantiasa berjalan bersama pemimpin kaum muslimin, baik yang sholih maupun yang fajir sampai hari qiyamat. Dan keduanya tidak akan digugurkan oleh sesuatu apapun”. (Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah, cet. Al Maktab Al Islaamiy 1403, hal. 437).
Dari pembahasan diatas anda dapat melihat bahwa jihad bersama orang fasiq, baik dia sebagai pemimpin atau anggota diperbolehkan berdasarkan ijma’. Dan kadang hal itu diwajibkan jika orang kafir itu tidak mungkin dilawan kecuali dengan berjihad bersama orang-orang fasiq, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas.
Dan yang menjadi pokok permasalahan disini, adalah bahwasannya jihad itu diwajibkan kepada orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Alloh :
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ.تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيْلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدخِلْكُمْ جَنَّاتٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?, Yaitu kamu beriman kepada Alloh dan RosulNya dan berjihad dijalan Alloh dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Alloh akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu kedalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di jannah”. (QS. Ash Shoff : 10-12)
Dan ayat-ayat yang lain. Ayat ini merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk berjihad, dan diantara orang-orang beriman itu ada yang mempunyai dosa-dosa.
يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“…niscaya Alloh mengampuni dosa-dosa kalian”
Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban jihad itu tidak gugur dari orang mukmin yang melakukan dosa, sedangkan orang fasiq meskipun besar dosanya, dia tetap masih beriman. Sesungguhnya dia masih mempunyai mutlaqul iimaan (batas terendah keimanan) yang menjadikan dia terkena beban kewajiban syari’at, meskipun dia tidak memiliki al iimaan al mutlaq (iman yang sempurna). Dan diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, bahwa ketaatan dan kemaksiatan itu dapat berkumpul pada seorang hamba, pemahaman ini disimpulkan dari kaidah umum yang menyatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan --- pembahasan masalah ini telah berlalu --- dan diantara contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari ‘Umar ra,
أن رجلا كان على عهد النبي صلى الله عليه و سلم وكان اسمه عبد الله وكان يلقب حمارا وكان يُضحكُ رسول الله صلى الله عليه و سلم وكان رسول الله صلى الله عليه و سلم قد جلده في الشراب فأتى به يوما فأمربه فجُلِد فقال رجل من القوم اللهم العنه ! ما أكثر ما يؤتى به! فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لاَ تَلْعَنْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتَ إِنَّهُ يُحِّبُ اللهَ وَرَسُولَهُ
“Pada zaman Nabi ada seseorang yang bernama Abdullah, yang mendapat julukan himar. Orang ini membikin tertawa Rosululloh SAW, dan Rosululloh SAW pernah mencambuknya lantaran minum khamr. Pada suatu hari ia didatangkan lalu dia diperintahkan untuk dicambuk. Lalu ada orang yang mengatakan:”Ya Alloh, laknatlah dia. Telah berkali-kali dicambuk”. Maka Rosululloh bersabda :”Janganlah kamu melaknatnya, demi Alloh kamu tidak mengetahui bahwa dia mencintai Alloh dan RosulNya”,
Sahabat ini meskipun dia bermaksiat dengan minum khamr namun dia masih memiliki ketaatan seperti mencintai Alloh dan RosulNya SAW, sedangkan kecintaan ini adalah termasuk cabang iman yang paling besar. Dan perhatikanlah kedudukan cinta ini dalam ayat mengenai penolakan delapan alasan dalam surat At Taubah :
قُلْ إِنْ كَانَ أَبَاؤُكُمْ....
“Katakanlah : jika bapak-bapak kalian…”
Kemudian sesungguhnya orang-orang yang bermaksiat itu mendapatkan manfaat tersendiri dalam jihad, yaitu untuk menghapuskan dosa-dosanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, setelah membacakan ayat dalam surat Ash Shoff diatas:”Dan barangsiapa yang banyak dosanya, maka obat yang paling manjur baginya adalah jihad. Karena sesungguhnya Alloh akan mengampuni dosa-dosanya. Sebagaimana yang Alloh beritahukan dalam firmanNya :
يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“…niscaya Alloh akan mengampuni dosa kalian”
Juga barangsiapa yang tidak bisa bertaubat dan membebaskan diri dari barang yang haram lantaran tidak mampu mengembalikan barang tersebut kepada yang berhak, maka hendaknya dia infaqkan barang tersebut dijalan Alloh, kerena hal itu merupakan jalan yang baik untuk membebaskan diri dari barang haram tersebut, selain itu dia mendapatkan pahala jihad”. (Majmuu’ Fataawaa , XXVIII / 421-422)
Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwasanya kefasikan itu tidak menggugurkan kewajiban jihad. Orang fasik itu diperintahkan untuk berjihad persis sebagaimana orang shalih. Dan telah dinukil diatas perkataan Asy Syaukaaniy yang menyatakan bolehnya --- dan tidak wajib --- meminta bantuan kepada orang fasiq dan munafiq berdasarkan ijma’. Maka jika hal ini dapat diterima, yang dijadikan patokan hukum adalah untung dan rugi yang ditimbulkannya, mana yang lebih besar. Artinya jika manfaat keikut sertaannya dalam berjihad lebih besar dari pada kerusakannya, dia diperbolehkan ikut. Dan jika sebaliknya maka tidak boleh.
Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qudaamah : ”Dan seorang pemimpin tidak boleh membawa seorang mukhodzil yaitu orang yang melemahkan semangat manusia dalam peperangan, dan juga tidak boleh membawa seorang murjif yaitu orang yang mengatakan; Telah hancur pasukan kaum muslimin dan tidak ada bantuan juga tidak ada kekuatan bagi mereka untuk menghadapi orang-orang kafir, dan juga tidak boleh membawa orang yang memata-matai kaum muslimin untuk orang-orang kafir, dan juga tidak boleh membawa orang yang menimbulkan permusuhan ditengah-tengah kaum muslimin dan menebar kerusakan.” (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir, X / 372 dan perkataan semacam ini juga terdapat dalam kitab Al Majmuu’ Syarhul Muhadz-dzab, XIX / 278-280).
Semuanya ini berdasarkan firman Alloh :
لَوْ خَرَجُوا فِيْكُمْ مَازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاَ وَلَأَوْضَعُوا خِلاَ لَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas-gegas maju kemuka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” (QS. At Taubah : 47)
Dan firman Alloh ;
فَإِنْ رَجَعَكَ اللهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجَ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِي أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِي عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيْتُمْ بِالْقُعُوْدِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِيْنَ
“Maka jika Alloh mengembalikanmu pada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:”Kamu tidak boleh keluar bersama-samaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggAlloh) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang” (QS. At Taubah : 83)
Kesimpulannya adalah orang yang melemahkan semangat atau menebar kerusakan dalam barisan atau berkhianat dilarang untuk ikut berjihad. Karena orang semacam ini besar bahayanya meskipun ada manfaatnya.
Namun meskipun pemimpin itu boleh mengijinkan orang fasiq yang bermaksiat --- yang manfaatnya lebih besar dari pada kerusakannya --- untuk ikut berjihad, hal ini tidak berarti pemimpin itu boleh membiarkannya dalam kefasikan dan maksiat.
Akan tetapi ia harus beramar ma’ruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, dan melakukan nahi munkar dengan cara memarahi dan menghukum. Inilah yang disebut sebagai pelaksanaan tarbiyyah iimaaniyyah ketika pelaksanaan jihad. Dan kita tidak mengatakan, kita undur jihad sampai selesai tarbiyyah iimaaniyyah. Karena tarbiyah semacam ini tidak ada habisnya kecuali dengan kematian. Sebagaimana firman Alloh ;
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
“Dan beribadahlah kamu kepada Rabbmu sampai datang kepadamu “keyakinan” (QS. Al Hijr : 99)
Keyakinan artinya adalah kematian, sebagaimana disebutkan didalam tafsir. Dan kadang ajal itu datang sedangkan orang belum mendapatkan tarbiyah kecuali sedikit. Alloh berfirman :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُم ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللّهِ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Alloh” (QS. Al Fathir : 32)
Inilah tingkatan-tingkatan keimanan para pengikut Rosul dan para pewaris kitab.
Dari pembahasan diatas dapat saya ringkaskan sebagai berikut :
1. I’dad imani (tarbiyah) adalah kewajiban dan merupakan penopang yang mendasar diantara penopang-penopang kemenangan. Dan telah berlalu uraian masalah ini, khususnya pada dampak kemaksiatan dalam menyebabkan kekalahan. Dan sesungguhnya kemaksiatan sebagian orang akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Dan inilah keadaan yang paling ideal jika bisa direalisasikan.
2. Namun demikian kami katakan jihad itu tidak boleh diundur dengan alasan I’dad imani --- meskipun jihad kadang boleh diundur dengan alasan untuk persiapan secara materi / fisik ketika dalam keadaan lemah --- khususnya ketika jihad hukumnya fardhu ‘ain dan lebih khusus lagi dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki wilayah kaum muslimin. Dan inilah kondisi kebanyakan negara kaum muslimin saat sekarang. Dalam kondisi seperti ini jihad hukumnya fardhu ‘ain dan mudloyyaqul waqti (tidak bisa diundur-undur). Dan mengundur-undurkan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain seperti ini akan mengakibatkan bahaya dan kerusakan. Bencana apakah yang lebih besar dari pada berkuasanya orang-orang kafir dinegara-negara kaum muslimin dan memaksakan kepada kaum muslimin untuk mengikuti hukum-hukum kafir dan berusaha untuk merusak kaum muslimin dan merusak agama mereka dengan berbagai sarana makar. Maka barangsiapa berpendapat untuk mengundur jihad sampai selesai mentarbiyah orang yang ingin berjihad, orang yang berpendapat seperti ini tidak memahami bahwa sarana penghancur jumlahnya berlipat ganda dibandingkan sarana untuk membangun.
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup” (QS. Al Baqarah : 217)
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَرَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka” (QS. Al Baqarah : 120)
Dan juga tidak memahami bahwasannya orang-orang kafir tidak akan menyisakan satupun sarana tarbiyah yang baik. Alloh berfirman :
وَلَوْلاَ دَفَعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبَيْعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللهِ كَثِيْرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ
“Dan sekiranya Alloh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan Masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al Hajj : 40)
Seandainya Alloh tidak menahan orang-orang kafir dengan para mujahidin pasti tidak akan tersisa satupun tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim menggambarkan keadaan mujahidin dengan mengatakan: ”Mereka telah mengerahkan jiwa mereka untuk cinta mereka kepada Alloh, membela agamaNya, menegakkan kalimatNya, dan melawan musuh-musuhNya. Dan mereka itu bersekutu dengan setiap orang yang membela Alloh dengan menggunakan pedang-pedang mereka dalam amalan-amalan yang mereka kerjakan meskipun mereka tidur didalam rumah mereka. Dan mereka mendapatkan pahala orang yang bisa beribadah lantaran jihad mereka dan kemenangan yang mereka raih, karena merekalah yang menjadi faktor penyebab. Dan Alloh yang membuat syari’at, memberikan pahala dan dosa kepada orang yang menjadi faktor penyebab sebuah amalan sebagaimana orang yang mengamalkan amalan tersebut. Oleh karena itu orang yang mengajak kepada kebenaran dan orang yang mengajak kepada kesesatan masing-masing mendapatkan pahala dan dosa sebagaimana orang yang mengikutinya” (Thoriiqul Hijrotain, cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1403 H. hal.355)
3. Jika kekuatan fisik kaum muslimin telah mencapai batas kemampuan yang disebutkan dalam ayat :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka semampu kalian”
dan dia yakin akan dapat meraih kemenangan, maka dia wajib untuk memulai jihad. Dan jihad tidak diundur dengan alasan untuk menyempurnakan I’dad imani. Dengan demikian ketika tidak mampu melaksanakan jihad, maka dua bentuk I’dad itu baik secara materi maupun secara iman harus diusahakan, maka barangsiapa yang berusaha untuk melakukan I’dad imani namun dia meninggalkan I’dad maddi atau mengundurnya, maka dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya tersebut dalam ayat :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian mampu”
4. I’dad imani harus dilakukan sepanjang tahapan sejak sebelum dimulainya jihad dan ketika dilaksanakan jihad. Sebagaimana yang telah saya sebutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu merupakan ciri yang senantiasa menyertai kaum muslimin baik sebelum berkuasa maupun setelah berkuasa. Dan sebaik-baik sarana tarbiyah adalah tarbiyah yang dilakukan ketika berlangsungnya jihad. Karena manusia dalam keadaan seperti ini, biasanya lebih dekat kepada Alloh. Sebagaimana Rosul senantiasa memberikan pengarahan kepada para sahabatnya ketika mereka sedang melaksanakan jihad. Dan tidak ada seorangpun yang mengatakan kita undur jihad sampai selesai tarbiyah. Diantaranya adalah sabda Nabi SAW,
أَللَّهُمَّ إِنِّى أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ بنِ اْلوَلِيْدَ
“Ya Alloh aku berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh kholid” hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy
Dan juga sabda Beliau kepada ekspedisi yang dipimpin oleh Abdullah bin Hudzaifah :
لَوْدَخَلُوْهَا مَاخَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي اْلمَعْرُوْفِ
“Jika mereka masuk kedalam api tersebut, mereka tidak akan keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perbuatan yang ma’ruf” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)
Dan sabda beliau kepada Usaamah bin Zaid :
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illAlloh?” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih)
Dan juga sabda Beliau kepada Abu Dzar :
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Kamu adalah orang yang padamu terdapat jahiliyyah” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)
Dan juga sabda Beliau pada suatu peperangan :
إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ اْلفَاجِرِ
“Sesungguhnya Alloh benar-benar menolong agama ini dengan orang yang fajir” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)
Begitu pula peristiwa haditsul ifki yang terjadi setelah suatu pertempuran. Rosululloh melaksanakan hukuman had penuduh berzina kepada orang yang menyebar luaskan fitnah itu. Diantara mereka ada orang yang pernah ikut perang Badar yaitu Misthoh bin Utsaatsah dan diantara mereka ada seorang juru sya’ir Nabi yaitu Hassan bin Tsabit (lihat Fat-hul Baariy, VIII / 378-379). Oleh karena itu bisa jadi orang yang sempurna, mulia dan disaksikan masuk surga, namun dia melakukan dosa-dosa besar sebagaimana Misthoh bin Utsatsah dan Haathib bin Abi Balta’ah ra, Rosululloh SAW bersabda tentang Haathib :
أَوَ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ ؟ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللهَ اَطْلَعَ عَلَى عَلَيْهِمْ فَقَالَ : اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ أَوْجَبَتْ لَكُمُ اْلجَنَّةَ
“Bukankah dia ikut perang Badar? Apakah kamu tidak tahu, bisa jadi Alloh telah melihat kepada mereka kemudian mengatakan kepada mereka:”Berbuatlah semau kalian, Aku telah wajibkan kalian masuk surga” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy, no. 6936).
Ibnu Hajar berkata: ”Sesungguhnya seorang mukmin itu meskipun dia sampai derajat kesholihan dan dipastikan dia masuk surga, dia tidak dijamin untuk tidak terjerumus kepada perbuatan dosa, karena Haathib termasuk orang yang diwajibkan oleh Alloh untuk masuk surga namun dia melakukan perbuatan sebagaimana yang telah dia lakukan”. (Fat-hul Baariy, XII/ 310). Dan contoh dalam masalah ini banyak. Maka tarbiyah iman itu dilakukan ketika berperang, dan jihad tidak ditunda dengan alasan tarbiyah. Tarbiyah itu --- sebagaimana yang lalu --- tidak berhenti kecuali setelah mati. Dan Alloh SWT, membolak-balik hati sesuai dengan kehendakNya.
5. Al ‘Adaalah bukanlah syarat wajibnya jihad. Orang fasiq boleh ikut berjihad jika manfaatnya untuk berjihad lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan. Sebagaimana telah diperinci didepan. Dan orang yang menimbulkan kerusakan dan berkhianat dilarang untuk ikut berjihad.
6. Sesungguhnya bukanlah merupakan aib bagi kaum muslimin adanya orang-orang yang bermaksiat didalam barisannya. Akan tetapi yang menjadi aib adalah membiarkan mereka berbuat maksiat dan tidak mengarahkan mereka untuk mentaati perintah dan larangan Alloh. Karena kesalahan dan kemaksiatan itu tidak akan pernah terpisah dari manusia. Rosululloh pun pernah melaksanakan hukuman had bagi pezina, pemfitnah zina, peminum khomer, pencuri, hiroobah (perampok) pada masa hidup beliau. Dan orang-orang munafiq dahulu ikut keluar berperang sebagaimana yang telah kami sebutkan diawal kitab. Namun demikian tidak seorangpun yang mengatakan kami tidak akan berjihad selama dalam barisan kami ada orang-orang yang bermaksiat dan munafiq. Padahal Rosululloh SAW bersabda :
لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ يَوْمٌ إِلاَّ وَالَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
“Tidaklah datang suatu haripun kepada kalian kecuali setelahnya pasti lebih jelek dari pada sebelumnya” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari Anas)
Intinya adalah jika ada beberapa orang yang bermaksiat pada sebuah kelompok yang berjihad yang tegak melaksanakan perintah Alloh, sesungguhnya hal ini bukanlah alasan untuk tidak berjihad bersama mereka.
7. Jika tidak terdapat kelompok seperti diatas (yaitu kelompok baik yang didalamnya terdapat beberapa orang yang bermaksiat) sehingga jihad tidak mungkin dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir atau bersama pasukan yang banyak melakukan dosa, maka wajib berjihad bersama mereka --- sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah --- untuk menolak salah satu dari dua kerusakan yang lebih besar --- yaitu kerusakan orang-orang kafir --- dan inilah taqwa kepada Alloh sesuai dengan kemampuan yang disebutkan dalam ayat :
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian” (QS. At Taghabun : 16)
Sesungguhnya tidak ada kerusakan yang lebih besar dari pada berkuasanya orang-orang kafir di negara-negara kaum muslimin, dan hal-hal yang ditimbulkannya, yaitu kemurtadan yang dipaksakan kepada kaum muslimin secara umum kecuali orang yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Alloh berfirman :
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ وَ أُلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُونَ
“Dan mereka tiada henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni naar, mereka kekal didalamnya” (QS. Al Baqarah : 217)
Maka seorang muslim boleh berperang bersama pemimpin yang fajir atau pasukan yang banyak dosa, karena dalam hal ini ia membantu mereka untuk kebaikan dan taqwa dan tidak membantu untuk berbuat dosa dan permusuhan, ia mentaati mereka untuk ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati dalam perbuatan maksiat, dan ia berusaha keras untuk menasehati mereka, supaya Alloh memperbaiki mereka. Dan pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyyah berkata: ”Jika kewajiban seperti menuntut ilmu, jihad, dan yang lainnya tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan orang yang berbuat bid’ah yang bahayanya lebih kecil daripada bahaya meninggalkan kewajiban tersebut, maka harus diraih kemaslahatan dengan melaksanakan kewajiban tersebut meskipun harus dengan menanggung kerusakan yang lebih ringan, hal itu lebih baik dari pada sebaliknya. Oleh karena itu pembahasan dalam masalah ini haruslah diperinci.” (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII / 212)
Asy Syatibi berkata: ”Dan begitu juga jihad bersama para pemimpin yang dzalim, para ‘ulama membolehkannya.” Maalik berkata: ”Jihad itu jika ditinggalkan pasti akan menimbulkan bahaya terhadap kaum muslimin. Jihad itu permasalahan darurat, dan keberadaan pemimpin dalam jihad itu juga darurat. Sedangkan Al ‘Adaalah itu adalah penyempurna sesuatu yang darurat itu. Dan sesuatu yang menjadi penyempurna itu jika ketidak adaannya mengakibatkan tidak adanya hal yang mendasar maka penyempurna itu tidak diperhitungkan lagi.” (Al Muwaafaqoot, II / 15)
Dan Muhamad Ibnu Hazm mempunyai perkataan keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin yang fajir. Beliau berkata: ”Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekafiran selain dosa orang yang melarang berjihad melawan orang-orang kafir dan memerintahkan untuk menyerahkan wanita-wanita kaum muslimin kepada orang-orang kafir tersebut dengan alasan kefasikan seorang muslim, padahal kefasikannya itu tidak akan ditanggung oleh orang lain” (Al Muhallaa, VII / 300)
Saya katakan : dan dalam bab Tiga telah saya jelaskan bahwa seorang amir fajir yang dipebolehkan berperang bersamanya --- jika tidak ada yang lain --- adalah orang yang kefajirannya hanya berdampak pada dirinya sendiri dan dibawah tingkat kekafiran.
Dari pembahasan diatas wahai saudaraku muslim, dapat kita fahami bahwa orang yang mengatakan ”kami tidak akan berjihad sebelum kami belajar ilmu syar’i dahulu, atau sebelum kami menyelesaikan tarbiyah imaniyah dahulu, atau mengharuskan setiap muslim untuk melakukan hal ini”, pendapat ini mengakibatkan musnahnya agama Islam. Dan sebagaimana yang saya katakan dalam bantahan saya terhadap syubhat Syaikh Al AlBani, bahwa menuntut ilmu dan tarbiyah itu adalah benar, dan kami mengajak manusia untuk melaksanakan keduanya, namun harus diperhatikan ketentuan-ketentuan berikut :
A. Sesungguhnya belajar dan tarbiyah itu bukanlah syarat wajibnya jihad. Artinya, kita tidak boleh melarang berjihad orang yang belum mempelajari diinnya dan belum membersihkan jiwanya. Kecuali ilmu yang hukumnya fardlu ‘ain yang khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari’atkannya jihad dan memahami kelompok apa yang ia perjuangkan.
B. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang menimpa kehidupan kaum muslimin ini adalah jihad, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ dari Tsauban :
يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الأُمَمُ...
“Hampir tiba saatnya kalian dikeroyok oleh berbagai bangsa…”
Dan Hadits marfuu’ dari Ibnu ‘Umar :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ...
“Jika kalian saling berjual beli dengan cara ‘iinah…”
Kedua hadits ini telah disebutkan didepan. Dan kami berpendapat bahwa jihad ini merupakan kewajiban mayoritas kaum muslimin khususnya adalah jihad melawan pemerintah yang murtad. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa belajar dan tarbiyah itu adalah bagian dari I’dad untuk berjihad, untuk membentuk satu kelompok mujahid yang berilmu dan beragama, dan kami tidak menganggap belajar dan tarbiyah itu sebagai jalan penyelesaian masalah tanpa jihad, sebagaimana telah berlalu dalam bantahan terhadap syubhat Syaikh Al Albani.
(Diterjemahkan dari kitab Al Umdah fii I’daadil ‘Uddah lil Jihaadi fii Sabiilillah, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, hal.583-597)
Perhatian:
Dipersilahkan kepada siapa saja untuk memperbanyak atau menukil isi buku ini baik sebagian maupun secara keseluruhan dengan cara apapun, tanpa merobah isinya. Semoga Alloh memberi balasan kepada siapa saja yang membantu tersebarnya buku ini